Pendidikan adalah hal yang terpenting dan menjadi tolak ukur kemajuan suatu negara. Setiap negara tentu akan memberikan kesempatan yang sama kepada warganya dalam mendapatkan Pendidikan. Banyak negara yang telah berkomitmen bersama dalam melindungi hak atas pendidikan bagi para penyandang disabilitas bagi setiap warganya melalui pendidikan inklusif. Praktik pendidikan inklusif di dunia telah menjadi agenda internasional di antaranya melalui SDGs yang mengamanatkan agar semua anak tanpa kecuali dipenuhi hak sosial dan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, serta telah menjadi agenda utama dalam pendidikan untuk semua di satuan pendidikan regular (Chinhara & Kuyayama, 2024; Llorent et al., 2024).
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Namun, pendidikan inklusi masih dipahami sebagai upaya memasukkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah regular dalam rangka memberikan hak atas pendidikan untuk semua anak, kemudahan akses pendidikan, dan menghilangkan diskriminasi.
Pada implementasi di lapangan, beberapa persoalan yang dihadapi oleh guru dalam mengimplementasikan program pendidikan pada sekolah inklusi diantaranya: (1) Keterbatasan jumlah guru pembimbing khusus (GPK); (2) minimnya kompetensi yang dimiliki guru dalam pelayanan pembelajaran bagi ABK; (3) kesulitan guru dalam mendesain media dan metode pada aktifitas belajar mengajar; (4) Ketidakpahaman guru tentang konsep ABK dan sekolah inklusi; (5) berbedanya latar belakang pendidikan guru; (6) administrasi dan tugas tambahan yang membebani guru; dan (7) komunikasi antara guru dan orang tua yang berlum terjalin secara baik (Chinhara & Kuyayama, 2024; Kurniawan, 2015). Pelaksanaan pendidikan sekolah dasar di Indonesia juga belum sepenuhnya memunculkan pembahasan mengenai pendidikan seks usia dini.
Laporan yang dirilis oleh UNICEF dan BAPPENAS bekerja sama dengan Institut Riset SMERU tahun 2023 yang berjudul “Analisis Lanskap Anak-anak dengan Disabilitas di Indonesia” (sumber : Laporan Terbaru Menunjukkan Anak-anak dengan Disabilitas Tertinggal dalam Semua Indikator Perkembangan Anak (unicef.org) mengungkap bahwa anak-anak dengan disabilitas menghadapi tantangan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Di sektor pendidikan, meskipun jumlah sekolah inklusif meningkat 29 persen dari tahun 2020 hingga 2021, anak-anak dengan disabilitas masih memiliki peluang lebih rendah untuk sekolah dan menyelesaikan pendidikan mereka dibandingkan dengan teman sebaya tanpa disabilitas. Sebanyak 36 persen anak dengan disabilitas tidak sekolah, sementara hanya 8 persen anak tanpa disabilitas menghadapi situasi yang sama.
Laporan tersebut juga mengungkap jumlah anak-anak dengan disabilitas yang melaporkan mengalami kekerasan turun sepertiganya dari tahun 2019 hingga 2021, namun lebih banyak yang mengungkap bahwa mereka mengalami pelecehan seksual daripada bentuk kekerasan lainnya. Dua kali lipat lebih banyak melaporkan pelanggaran ini dibandingkan dengan kekerasan fisik, dan tiga kali lipat dibandingkan dengan kekerasan emosional. Secara khusus, anak-anak dengan disabilitas intelektual 4,6 kali lebih berisiko menjadi korban kekerasan seksual daripada anak sebayanya tanpa disabilitas (Ahyar AS et al., 2023). Sama halnya, tinjauan sistematis dan meta analisis lainnya menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, daripada orang yang tidak memiliki disabilitas (Hermawan Budi, 2020)
Selain itu di sisi lain dari anak-anak disabilitas, berdasarkan data Simfoni PPA, di tahun 2021 itu mencatat ada 594 kasus pelaporan kekerasan terhadap anak. Kekerasan itu terjadi di sekolah dengan jumlah korban sebanyak 717 anak, terdiri dari anak laki-laki 334 dan anak perempuan 383. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti kasus kekerasan seksual (KS) yang makin marak terjadi di wilayah satuan pendidikan. Sejak awal tahun hingga Mei 2023, FSGI mencatat ada 202 anak yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah di bawah Kemendikbud dan Kementrian Agama. Adapun pelaku KS adalah orang-orang yang seharusnya dihormati dan melindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan. Hal ini tentu membuat pendidikan Indonesia belum sepenuhnya inklusi.
Beberapa penelitian mengenai pendidikan inklusif dan ramah gender di Indonesia telah dilakukan. Tentu implementasi pendidikan inklusif dan ramah gender perlu kerjasama yang baik antara pemerintah, sekolah, orangtua, dan masyarakat. Keberhasilan pendidikan inklusif dan ramah gender akan tercapai jika faktor-faktor lingkungan yang menjadi penghambat belajar anak dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Permasalahan tersebut tentu perlu dicarikan solusi bersama. Perlunya Kerjasama yang baik dan serius antara pemerintah, sekolah, orangtua, dan masyarakat sehingga akan terwujudnya pendidikan Indonesia yang inklusif dan ramah gender.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply